Pendahuluan
Setelah kontroversi revisi UU No.22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beberapa waktu yang lalu, kini setelah
terbit UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penggantinya
ternyata masih juga menuai pro-kontra. Kondisi demikian dapat kita lihat
melalui berbagai substansi pasal-pasal yang terkandung didalamnya, terutama
sekali tentang pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal). Keberadaan UU ini
dimulai ketika tarik ulur kebijakan publik “dimenangkan” oleh pemerintah
melalui kebijakan revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
dinilai banyak kalangan kebablasan dan memiliki berbagai kelemahan. Idealnya,
UU ini mampu menjawab berbagai
masukan yang telah digulirkan berbagai kalangan baik masyarakat maupun dari
elemen pemerintah itu sendiri. Namun apa daya, memasukan komponen Pemilihan
kepala daerah langsung ternyata membawa ketidakpuasan beberapa pihak sehingga
sampai tulisan ini dibuat, permohonan uji materiil (judicial review) telah
dikeluarkan hasilnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (Selasa, 22 Maret 2005)
yang mengabulkan sebagian dari tuntutan pihak yang mengajukan, yaitu gabungan
sejumlah LSM dan 15 KPUD. Beberapa catatan yang penulis tangkap dan dapat
dirangkum secara sederhana dari UU pemerintahan daerah ini antara lain:
Implikasi positif UU No.32 tahun 2004
UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) menggantikan Undang-undang yang
berkaitan dengan kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang
dicanangkan pemerintahan baru di era reformasi ini, yaitu UU No.22 tahun 1999
dan UU No.25 tahun 1999 dengan judul yang sama. Sejak disahkan oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Oktober 2004, maka Undang-undang ini berlaku
efektif. UU yang lazim disebut UU Pemda ini memiliki jumlah pasal yang lebih
banyak dari UU sebelumnya, yaitu memuat 240 pasal, lebih banyak dibanding
pendahulunya yang hanya 134 pasal.
Perbedaan demikian terkait erat
dengan konsekuensi pasal 3 UUD 1945 hasil perubahan kedua pada tahun 2000.
Yaitu pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B yang menggantikan pasal 18. Dalam
amendemen UUD 1945, dilakukan perubahan mendasar. Dalam Pasal 18 UUD 1945 ayat
(1) disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-daerah
Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap
Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan UU.
Dalam kalimat tersebut, terjadi
hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah
Provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah diakomodasi dalam bentuk
urusan pemerintahan menyangkut pengaturan terhadap regional yang menjadi
wilayah tugasnya. Hal ini berbeda dengan apa yang ditangkap dalam UU
pemerintahan daerah sebelumnya, dimana dalam UU No.22 tahun 1999 hanya
disebutkan bahwa Negara Indonesia terdiri atas daerah provinsi dan daerah
kabupaten kota. Ini ditafsirkan tidak adanya hirarki antar pemerintahan
sehingga muncul konsep “kesejajaran antara provinsi dan kabupaten/kota”.
Akibatnya, banyak kabupaten/kota
yang tidak tunduk kepada gubernur dengan alasan sesuai dengan aturan
Undang-undang. Ketidak seimbangan antara eksekutif dan legislatif (Legislative
heavy), yang dikuatirkan banyak kalangan pasca UU No.22 tahun 1999 berlaku
mulai hilang. Hal ini dapat dilihat bahwa melalui UU No.32 ini, kewenangan DPRD
banyak yang dipangkas, misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh
rakyat, DPRD yang hanya memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta
adanya mekanisme evaluasi gubernur terhadap Raperda APBD agar sesuai
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Beberapa hal lain yang niscaya
merupakan implikasi positif dari UU yang menurut versi pemerintah “menyempurnakan”
ini. Badjeber (2004), Mecca dan Riana (2005) mencatat antara lain mekanisme
pengawasan kepala daerah yang semakin diperketat, misalnya presiden tanpa
melalui usulan DPRD dapat memberhentikan sementara terhadap kepala daerah yang
didakwa melakukan tindak korupsi, terorisme, dan makar (Pasal 31). Sementara
pengawasan terhadap DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan Kehormatan yang
siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan. Untuk
melengkapinya DPRD wajib pula menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan
kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Anggota DPRD pun bisa diganti
sewaktu-waktu apabila melanggar larangan atau kode etik (Pasal 41 s.d Pasal
49).
Kemudian terdapat pula pengaturan
dalam pembuatan fraksi di DPRD. Setiap anggota DPRD harus berhimpun dalam
fraksi, dimana jumlah anggota setiap fraksi sekurang-kurangnya sama dengan
jumlah komisi di DPRD. Untuk menjamin keadilan bagi partai politik, jumlah
komisi di DPRD pun diatur sesuai dengan jumlah anggota DPRD. Bagi anggota yang
berasal dari parpol dan tidak bisa membentuk fraksi harus membentuk fraksi
gabungan. Dalam hal usulan pengajuan calon pimpinan, hanya parpol yang bisa
membentuk satu fraksi yang berhak mengajukan calonnya sedangkan fraksi gabungan
tidak.
Menurut Ryaas Rasyid dalam Badjeber
(2004), pemerintahan bertujuan keadilan, yang dalam konteks pemerintahan
nasional, keadilan itu diukur oleh dari suasana yang terbentuk secara nasional.
Keadilan dalam konteks ini dimaksudkan keadilan bagi partai politik. (Pasal 50
s.d Pasal 51). Masih banyak lagi aturan-aturan yang dimuat dalam pasal demi
pasal, namun acapkali aturan main yang dibentuk ini mengalami batu sandungan,
terutama pro-kontra pasal-pasal tentang Pemilihan kepala daerah langsung yang
dimuat dalam UU No.32 tahun 2004 ini.
Problem Pemilihan Kepala Daerah dalam UU No.32 tahun 2004
Reaksi masyarakat terhadap
sosialisasi UU No.32 tahun 2004 ternyata beragam. Tidak kurang dari lima belas
(15) KPUD antara lain KPUD DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa
timur, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Lampung, Gorontalo, Jambi, Kepulauan
Bangka Belitung, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Kalimantan Timur, bersama
organisasi non pemerintah seperti Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) dan beberapa
ornop lainnya mengajukan permohonan uji materril UU No. 32 ke Mahkamah
Konstitusi. Para pemohon menganggap UU No 32 tahun 2004 ini bertentangan dengan
UUD 1945, sehingga pasal-pasal tentang penyelenggaraan pilkada langsung, antara
lain pasal 1, pasal 57, pasal 65 pasal 89, pasal 94 dan pasal 114, harus
dibatalkan.
Argumentasi yang dibangun dalam
rangka ketidak setujuan beberapa kalangan terhadap UU ini adalah pemilihan
kepala daerah langsung. Memang bukan substansi yang disesalkan, sebab semua
elemen bangsa, intelektual, ormas dan organisasi-organisasi profesional beserta
sebagian besar masyarakat daerah sepakat tentang urgensi pemilihan kepala
daerah secara langsung demi demokrasi. Yang menjadi masalah, banyak kalangan
menyayangkan sikap pemerintah yang ngotot memasukkan instrumen pilkadal kedalam
UU tentang Pemerintahan Daerah, bukan UU Pemilu, ataupun UU tersendiri.
Beberapa pakar seperti Ryaas Rasyid,
J. Kristiadi, dan Ramlan Surbakti dalam pernyataannya melihat bahwa Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) merupakan bagian dari Pemilu sebagaimana diatur dalam
UUD 1945. Dengan demikian, sebagian pasal dalam UU No. 32/2004 bertentangan
dengan UUD karena menyerahkan kewenangan penyelenggaraan Pilkada kepada KPUD,
bukannya kepada KPU. Konsekuensi dari UU ini ditambah lagi oleh dikeluarkannya
PP No. 6 tahun 2005 yang mengatur tentang teknis pelaksanaan Pilkada sebagai
upaya operasionalisasi UU No 32/2004 tersebut oleh pemerintahan Presiden
Soesilo B. Yudhoyono.
Gugatan uji materil terhadap UU
Pemerintahan Daerah ini kemudian direspons positif oleh Mahkamah Konstitusi
selaku lembaga yang berwenang. Akhirnya, meskipun masih ada ketidakpuasan,
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian tuntutan mereka. Adapun pasal-pasal
yang dibatalkan lembaga ini adalah pasal 57 ayat (1), pasal 66 ayat (3) huruf
e, pasal 67 ayat (1) huruf e, pasal 82 ayat 2. Sedangkan pasal 59 ayat (1)
hanya menyatakan Penjelasan pasal tersebut batal demi hukum. Menurut Smita
Notosusanto dari CETRO, keputusan Mahkamah Konstitusi ini berusaha menyenangkan
semua pihak, apalagi dengan tidak jelasnya KPUD bertanggung jawab kepada siapa
setelah KPUD diputuskan tidak bertanggung jawab kepada DPRD.
Namun apapun hasil yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi ataupun
kekecewaan beberapa pihak, amar putusan telah dikeluarkan dan segera dimuat
dalam Berita Negara paling lambat 30 hari setelah diputuskan. Artinya, apa pun
yang terjadi, kita akhirnya harus tetap menerima keberadaan UU ini, karena
pelaksanaan pilkada kini tinggal menghitung hari saja. Dengan asumsi KPUD dapat
bekerja keras dan penuh komitmen untuk menjamin pilkada secara adil,
demokratis, meskipun peraturannya, seperti kata Sarundajang (2001) bahwa karena
posisinya yang strategis, kepala daerah tidak pernah luput dari pengaruh
politik.
Dengan kata lain, beliau ingin mengatakan begitu banyak
kecenderungan money politics dan dalam pemilihan Pilkada, apalagi dengan
pelaksanaan yang sangat singkat dan terburu-buru seperti sekarang ini. Demikian
pula Riewanto (2005) dengan sudut pandang yang sama, cukup mahfum dan menunjuk
bahwa walaupun pelaksanaan Pilkada langsung ini penuh motif politik dan tidak
jelas bertanggung jawab kepada siapa, kecuali yang sering disebut pemerintah
bertanggung jawab kepada “publik”, tetapi harus segera dilaksanakan demi
tuntutan demokratisasi.
Menurut pernyataan resmi dari Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia (APKASI) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), PP No.6 yang
dikeluarkan pemerintah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung
mulai Juni 2005, dapat menimbulkan persepsi mengenai upaya pemerintah untuk
mengintervensi proses pilkadal tersebut. Memang, hal ini merupakan salah satu
kelemahan dalam UU Pemerintahan Daerah yang masih membutuhkan peraturan
pemerintah (PP), tetapi setelah putusan final dari Mahkamah Konstitusi, maka
hendaknya berbagai elemen masyarakat dan pemerintahan juga menyiapkan diri
untuk menyongsong era pemilihan kepala daerah model baru ini, terlepas dari
kekecewaan maupun kelegaan berbagai pihak yang berkepentingan dalam pesta
demokrasi ini. Bagaimanapun, pemilhan kepala daerah –secara langsung- merupakan
bagian dari demokratisasi di tingkat lokal, dan konsekuensi logis dari amanat
amendemen UUD 1945.
Membangun Hukum dan Demokrasi Lokal
Menelaah UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terlihat adanya
semangat untuk melibatkan partisipasi publik. Di satu sisi, keterlibatan publik
(masyarakat) dalam pemerintahan atau politik lokal mengalami peningkatan dengan
diaturnya pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal). Namun disisi lain
terjadi ketegangan antara pemerintah dengan publik; yang diwakili LSM, KPUD,
dan tokoh-tokoh yang menolak ihwal pilkadal dimasukan dalam UU No.32 tahun 2004
ini karena dinilai bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Mengenai demokrasi lokal, dalam sebuah artikelnya Prihatmoko (2004)
menyebutkan bahwa peningkatan kualitas demokrasi lokal dipengaruhi oleh
sejumlah faktor yang lazim disebut prakondisi demokrasi lokal. Prakondisi
demokrasi tersebut mencakup: (1) kualitas DPRD yang baik; (2) sistem rekrutmen
DPRD yang kompetitif, selektif dan akuntabel; (3) partai yang berfungsi; (4)
pemilih yang kritis dan rasional; (5) kebebasan dan konsistensi pers; dan (6)
LSM yang solid dan konsisten; dan (7) keberdayaan masyarakat madani (civil
society). Walaupun dalam konteks pilkadal pada saat sekarang ini penulis
sendiri tidak yakin –terutama poin (1)-akan tetapi kondisi diatas akan sangat
mempengaruhi kualitas demokrasi lokal dimasa datang.
Dalam konteks demokrasi lokal inilah sudut pandang KPUD yang
melaksanakan proses Pilkada langsung untuk bertanggunmg jawab kepada DPRD
digugat. Akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi mengamanatkan KPUD bertanggung
jawab kepada “publik”. Sebenarnya alasannya jelas, fungsi utama DPRD adalah
untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan
fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Memang pemegang
kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap gubernur atau
bupati/walikota.
Bahkan dalam UU No.32 Tahun 2004 gubernur dan bupati/walikota
diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya menjadi
Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD (pasal 25). Artinya, DPRD itu hanya
bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui atau
bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan
tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan
rancangan Peraturan Daerah. Akan tetapi hal itu tidak berarti DPRD dapat
melakukan “intervensi” pada saat proses pemilihan kepala daerah, karena sebelum
terpilih, DPRD tidak memiliki kekuatan hukum seperti pengawasan dan kontrol
yang dapat dilakukan terhadap kepala daerah dengan payung UU diatas. Demikian
yang diharapkan para pemohon judicial review pada saat itu.
Hukum sekali lagi ditegakkan dalam kerangka putusan Mahkamah
Konstitusi. Kerelaan semua pihak untuk dapat menaati hasil putusan tersebut
merupakan suatu keharusan. Walaupun diwarnai dengan dissenting opinion oleh
salah satu hakim Mahkamah Konsitusi, amar putusan tersebut tetap menunjukkan
keputusan kolektif lembaga tinggi ini. Memang, sistem hukum Indonesia selalu
menjadi sasaran kritik di era reformasi ini. Budiman (2000) mencatat bahwa
selain kodifikasi yang buruk, sistem hukum itu juga tidak mengatur pemisahan
kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif dan kerapkali menjadi subyek suap atau
intimidasi. Dalam konteks ini, Indonesia belum menjadi negara hukum jika tidak
konsisten menyelesaikan banyak hal dengan standar hukum. Ditegaskan olehnya
bahwa “kesetaraan di muka hukum adalah, tentu saja, dasar dari setiap
demokrasi.”
Penutup
Revisi terhadap UU No. 22/1999, dengan demikian jelas dimaksudkan
untuk menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang selama ini muncul dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Memang, sekilas UU No. 32 tahun 2004 masih
menyisakan banyak kelemahan, tapi harus diakui pula banyak peluang dari UU
tersebut untuk menciptakan good governance, paling tidak di tataran konseptual
akan sangat berarti. Selain beberapa implikasi positif yang dapat diambil dari
UU No. 32 tahun 2004 ini, perdebatan tentang pilkadal hanya bagian kecil
dibanding usaha idealisasi kehidupan bernegara dalam konteks demokrasi dan
otonomi daerah masa sekarang ini. Diskursus demikian tentunya (diharapkan)
berakhir dengan keputusan final Mahkamah Konstitusi, dan pembangunan demokrasi
akan terus berjalan di negeri ini.
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada saat sekarang ini masih
merupakan tahap awal, sebuah pilot project demokrasi lokal. Semoga sistem
ketatanegaraan Indonesia yang carut marut ini segera dapat dibenahi, sehingga
hukum; sebuah permasalahan utama yang menuntut solusi keadilan bagi negara yang
demokratis dalam menjalankan pemerintahannya; akan menjadi panglima. [ ]
UU Nomor 32 Tahun 2004 Kewenangan Pusat-Daerah Tumpang
Tindih
Yogyakarta,
CyberNews. Fakta di berbagai daerah
memperlihatkan betapa desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan ruang
bagi daerah untuk berinovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Meski
begitu, UU Pemerintahan Daerah masih meninggalkan berbagai persoalan. Bahkan
hasil diskusi Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik Fisipol UGM
selama tahun 2008-2009 memperlihatkan ketidakjelasan pembagian kewenangan
antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Akibatnya,
para pelaku kepentingan memberikan interprestasi yang berbeda terkait hal yang
menjadi kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga melahirkan
tumpang tindih dan tarik menarik kewenangan antarlevel pemerintahan.
Demikian
beberapa pemikiran yang muncul dalam seminar nasional ”Menata Ulang
Desentralisasi Indonesia dari Perspektif Daerah”, di University Club UGM, Selasa
(26/1). Seminar yang digelar Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik
Fisipol UGM itu diharapkan mampu memberikan masukan secara substantif
pada pemerintah pusat dan DPR dalam proses revisi UU No 32 Tahun 2004.
Drs
Cornelis Lay MA sebagai salah satu pembicara berharap, penerapan desentralisasi
asimetris akan mengubah secara fundamental pola hubungan kewenangan, keuangan
dan pengawasan antara daerah dan pemerintah pusat.
Bahwa
pengalaman dari berbagai negara semisal Finlandia, contoh negara paling ekstrim
yang menerapkan pola asimetris, menunjukkan pola itu telah memperluas
kewenangan daerah untuk isu-isu tertentu, seperti kultural, bahasa dan
kewarganegaraan khusus.
( Bambang Unjianto / CN16 )
|
|||||
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA
|
|||||
NOMOR 32 TAHUN 2004
|
|||||
|
|
|
|
|
|
T E N T A N G
|
|||||
|
|
|
|
|
|
PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
|
|||||
|
|||||
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 120 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, perlu
mengatur susunan organisasi, formasi, kedudukan, wewenang, hak, tugas dan
kewajiban Satuan Polisi Pamong Praja ;
|
||
|
|
b.
|
bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 1998 tentang Polisi Pamong Praja sudah tidak sesuai dengan jiwa semangat
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, sehingga perlu
diganti ;
|
||
|
|
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja ;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat
|
:
|
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;
|
||
|
|
2.
|
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) ;
|
||
|
|
3.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah
Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952 ) ;
|
||
|
|
4.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun
2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4090 ) ;
|
||
|
|
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
4262 ) ;
|
||
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Menetapkan
|
:
|
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG
PRAJA.
|
|||
|
|
|
|
|
|
BAB I
|
|||||
KETENTUAN UMUM
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 1
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri
dari Presiden beserta para Menteri.
|
||||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Kepala
Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif
Daerah.
|
||||
3.
|
Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati
atau Walikota.
|
||||
4.
|
Satuan Polisi Pamong Praja adalah
perangkat pemerintah daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan
ketenteraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah.
|
||||
5.
|
Polisi Pamong Praja adalah aparatur
Pemerintah Daerah yang melaksanakan tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan
menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
|
||||
6.
|
Ketenteraman dan ketertiban umum
adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah, Pemerintah Daerah
dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib dan
teratur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB II
|
|||||
KEDUDUKAN, TUGAS
DAN FUNGSI
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 2
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh seorang Kepala
dan berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui
Sekretaris Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 3
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas memelihara dan
menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 4
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, Satuan Polisi Pamong Praja menyelenggarakan fungsi :
|
|||||
a.
|
penyusunan program dan pelaksanaan ketenteraman dan
ketertiban umum, penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah ;
|
||||
b.
|
pelaksanaan
kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum
di Daerah ;
|
||||
c.
|
pelaksanaan kebijakan penegakkan
Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah ;
|
||||
d.
|
pelaksanaan koordinasi pemeliharaan
dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum serta penegakkan
Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah dengan aparat Kepolisian Negara,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau aparatur lainnya ;
|
||||
e.
|
pengawasan terhadap masyarakat agar
mematuhi dan menaati Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB III
|
|||||
WEWENANG, HAK DAN KEWAJIBAN
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 5
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Polisi Pamong Praja berwenang :
|
|||||
a.
|
menertibkan dan menindak warga
masyarakat atau badan hukum yang menganggu ketenteraman dan ketertiban
umum.
|
||||
b.
|
melakukan pemeriksaan terhadap warga
masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah
dan Keputusan Kepala Daerah.
|
||||
c.
|
melakukan tindakan represif non
yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hikum yang melakukan
pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
|
||||
|
|
||||
Pasal 6
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Polisi Pamong Praja mempunyai hak
kepegawaian sebagai Pegawai Negeri Sipil dan mendapatkan fasilitas lain
sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan pearturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 7
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Dalam
melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib :
|
|||||
a.
|
menjunjung tinggi norma hukum, norma
agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup dan
berkembang dimasyarakat.
|
||||
b.
|
membantu
menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menganggu ketenteraman
dan ketertiban umum ;
|
||||
c.
|
melaporkan kepada Kepolisian Negara
atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana ;
|
||||
d.
|
menyerahkan kepada PPNS atas
ditemukannya atau patut diduga adanya penyelenggaraan terhadap Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 8
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Sebagian anggota Polisi Pamong Praja ditetapkan menjadi
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
Daftar Pustaka
http://satpol-pp.tanjabbarkab.go.id/UU
No. 32 Tahun 2004.htm
Dimuat pada: 29 January 2010
http://www.unggulcenter.org/2010/05/10/uu-no-32-tahun-2004-tentang-pemerintahan-daerah-catatan-implikasi-positif-dan-problematika/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda agar blog ini dapat lebih baik kedepannya...terimakasih banyak...